Titik Akhir di Negeri Peri Part 3

Part 3

Hujan pagi ini, kepalaku sakit. Orang dengan gangguan jiwa masa lalu memang terkadang sulit menikmati harinya dengan bahagia.

***
"Ini kamu bilang susah?!" suara Bapak menggema dan berteriak ditelingaku. Aku tertunduk sambil menahan tangis. Karena jika menangis Bapak justru akan main fisik. Jadi kutahan air mata ini untuk jatuh. Sementara Ibu hanya terdiam tak mampu berbuat apa-apa, wajahnya berkaca-kaca. Sedikit ada air mata di pipinya.

"Jawab! Masa Ujian Kelulusan SD saja kamu tidak mampu? Bapak malu. Kamu lihat si Kania, kakakmu, dia tak pernah absen dari peringkat kelas. Selalu juara 1, masuk ke sekolah favorit. Dan sebentar lagi akan terbang ke Irlandia!"

"Pak, Dessa bukan anak yang seperti Bapak kira. Jangan begitu Pak" kak Kania berusaha membelaku.
"Diam kamu!" Bapak malah membentak kak Kania.

Malam itu diluar hujan deras. Suara petir semakin membuat suasana rumah menjadi suram. Tentang perasaanku, ya aku sakit hati dengan ucapan Bapak. Aku mencoba menahan emosiku dalam-dalam. Tapi ternyata aku tak mampu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Dan akhirnya melayang tangan Bapak di wajahku. Sakit. Sejak saat itu aku membenci Bapak.

***
Kini aku sudah tak pernah melihat Bapak. Bapak meninggal saat aku SMP. Bapakku itu gangguan jiwa, dia sangat obsesi terhadap sesuatu. Untung ada kak Kania yang sempurna dimatanya. Jadi cukup mengobati keobsesian Bapak terhadap anak yang harus hebat, harus berprestasi. Sementara aku, ya biasa saja. Dessa biasa. Aku lebih suka menggambar dan menulis. Tapi Bapak tak pernah menghargai gambar yang kubuat. Melihatpun tidak. Bapak lebih suka disodorkan ulangan bernilai sempurna.

Saat itu senja, aku masih kelas 3 SD. Aku menggambar Bapak, Ibu, kak Kania dan aku sedang bergandengan tangan. Kami menikmati hujan bersama. Saat Bapak pulang kantor, aku segera berlari menghampiri Bapak, "Pak lihat Dessa gambar ini untuk Bapak, Dessa tulis cerita juga disini" sambil menunjukan lembaran kosong disebelah gambar. Bapak diam saja hanya sepintas lihat. Malah Ibu yang segera menghampiriku. "Wah, bagus Dessa, besok gambar Ibu lagi masak ya" kata Ibu sambil memelukku. Aku tahu Ibu mencoba menghiburku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bersemangat untuk menggambar.

***
"Arggggghhh sakiiittt" aku meronta dan tak mampu menahan sakit di kepalaku.
"Dessa, Sa, buka pintunya Sa" Ibu mengetuk pintu kamarku. Dan aku tak kuat bangkit dari tempat tidurku. Ku rasakan sekujur tubuhku kaku, seluruh ruangan menjadi gelap. Dan hujan diluar terdengar semakin menyakitkan untuk dinikmati.

Aku menyalahkan Bapak atas semua ini. Meskipun aku tahu kewajibanku sebagai anak mengharuskan aku berdoa untuk Bapak. Agar Tuhan memberikan segala kebaikan kepadanya. Namun, diluar itu. Hatiku tetap tidak terima dengan segala apa yang telah terjadi.

Jika orang mengagungkan Bapak itu sempurna dan cinta pertama anak perempuannya. Aku tidak, Bapakku hanya Bapak biologis saja.

#30DWC
#30DWC13
#DAY3
#squad2

#ODOPfor99days

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saksi Sebuah Pohon

Ingin Membuat Konten yang Menarik? Yuk, Jalan-Jalan ke Yogyakarta

Motivasi, Tujuan dan Mimpiku