Surat Cinta

Surat  Cinta

Pagi ini hujan,  sayang. Aku  memikirkanmu  diluar  sana  yang gigih mencari  kehidupan diantara kota-kota yang kejam.

Aku,  anak-anak hasil cinta kita. Kami menanti  kepulanganmu  setiap  hari  menjelang  senja. Jika pekerjaan tidak memperbudakmu lebih lama,  itu artinya  kami  punya  banyak  waktu  untuk bercerita, berdebat,  bertengkar,  atau saling tuduh. Tapi bukankah itu cinta,  sayangku? Pernikahan tidak di bangun oleh hal yang manis-manis saja,  begitu katamu.

Uforia  dua buah  hati  kita  saat  menyambutmu, atau terkadang  jerit tangis mereka mengiringi kepulanganmu di rumah. Maafkan aku tidak selalu membuatmu nyaman saat di rumah.
Tapi aku lega, kamu  pulang.

Suatu  hari  ketika  kamu  pergi  bekerja berhari-hari. Aku gelisah. Aku rindu. Hanya  doa  dan doa. Sampai kemudian  aku mulai  membayangkan, jika  kamu  tak kunjung pulang, jika  Tuhan  berkehendak  lain. Bagaimana  aku nanti? bagaimana  anak- anak kita  nanti? Aku mulai  takut, aku gelisah. Ternyata kegelisahan itu manifestasi Tuhan yang lahir dalam bentuk kepedulian.
Tuhan, tolong  berikan banyak  waktu kepada  kami.

Maka suatu saat nanti ketika langit mulai merona. Saat camar-camar genit  berterbangan  menghias langit  jingga.
Saat buah hati kita sudah bersama keluarga mereka. Aku duduk di belakangmu,  memelukmu,  kita berkendara, sampai jauh,  sampai kemana,  ke ujung peradaban manusia.

Aku mencintaimu tanpa alasan.

Yogyakarta  , 12 Janurai  2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saksi Sebuah Pohon

Ingin Membuat Konten yang Menarik? Yuk, Jalan-Jalan ke Yogyakarta

Motivasi, Tujuan dan Mimpiku